Intervensi untuk Mengurangi Stigma pada Penderita Skizofrenia

Stigma menciptakan pandangan negatif terhadap seseorang yang muncul akibat penilaian orang lain. Hal ini mengarah pada perbedaan pola pikir, perilaku, dan tindakan dari berbagai pihak, seperti keluarga, teman, pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dunia kerja, bahkan oleh individu itu sendiri. Dampaknya adalah pembatasan hak-hak bagi individu yang mengalami stigma. Sangat penting untuk melakukan intervensi guna mengurangi stigma yang dialami oleh penderita gangguan jiwa, terutama skizofrenia. Berbagai intervensi dapat dilakukan, dan hal ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak untuk mengurangi stigma terhadap mereka yang mengidap skizofrenia. Penting untuk melakukan intervensi yang dapat membantu mengurangi stigma terhadap penderita gangguan jiwa, terutama Skizofrenia. Berbagai intervensi diperlukan dan memerlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam upaya mengurangi stigma terhadap individu yang menderita skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikosis fungsional yang ditandai oleh masalah utama dalam proses berpikir, serta ketidaksesuaian antara proses berpikir, perasaan, kehendak, dan gerakan tubuh. Gangguan ini disertai dengan distorsi kenyataan, terutama yang ditandai oleh waham dan halusinasi, serta asosiasi yang terpecah yang menghasilkan ketidakselarasan. Perasaan dan emosi sering tidak sesuai dengan situasi, sementara perilaku psikomotor cenderung menunjukkan penarikan diri, ambivalensi, dan tindakan yang aneh. Skizofrenia dianggap sebagai penyakit otak yang sangat kompleks, dengan gejala psikotik berat dan bertahan lama, disertai dengan gangguan kognitif dan sosial yang mendalam. Penyakit ini biasanya mulai muncul pada akhir masa remaja atau awal dewasa, dan gejalanya seringkali sulit dikenali pada tahap awal kehidupan, bahkan pada masa kehamilan yang lebih awal. Meskipun begitu, kondisi ini bisa membaik, hingga tingkat tertentu, seiring bertambahnya usia.

Terapi dan intervensi psikososial

Pengobatan farmakoterapi pada skizofrenia dilakukan dengan menggunakan obat antipsikotik yang memiliki berbagai sifat farmakologis, yang bekerja pada reseptor postsinaptik dopamin di otak. Pendekatan holistik dalam penanganan skizofrenia dapat menghasilkan hasil yang lebih optimal. Setiap individu dengan skizofrenia memiliki kebutuhan psikososial yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh faktor etiologi, perjalanan penyakit, dan prognosisnya. Penanganan psikososial akan lebih efektif ketika dilakukan pada fase pemulihan, dibandingkan dengan fase akut. Hal ini juga sangat tergantung pada tingkat keparahan gejala serta jalannya penyakit, yang memerlukan dukungan dari berbagai pihak.

Recovery

Pemulihan Kesehatan Mental adalah suatu proses atau perubahan menuju kesembuhan bagi individu yang mengalami gangguan jiwa, dengan tujuan untuk mencapai kehidupan yang bermakna dalam komunitas sesuai dengan pilihan mereka, melalui usaha untuk mencapai potensi penuh mereka. Pemulihan ini berarti seorang individu dengan skizofrenia berhasil menjalani kehidupan yang bermanfaat dan produktif, seperti sebelumnya, dengan kemampuan untuk bekerja, mendapatkan pendidikan, berinteraksi dengan masyarakat, dan berpartisipasi dalam lingkungan sosial. Dalam proses pemulihan, hambatan yang masih memerlukan perhatian adalah adanya stigma yang kuat, baik dari diri pasien sendiri, masyarakat, pemerintah, bahkan tenaga medis.

Jenis-jenis Strategi Intervensi dalam mengurangi Stigma

Beberapa kelompok yang dapat menjadi sasaran intervensi meliputi masyarakat umum, individu dengan gangguan mental, pelajar, tenaga medis, serta keluarga dari orang dengan gangguan kesehatan jiwa, dengan penerapan jenis intervensi yang tepat.

1.    Narrative Enhancement Cognitive Therapy (NECT)

Ini adalah intervensi kelompok mandiri yang bertujuan untuk mengurangi stigma diri, harga diri, dan identitas diri, berdasarkan panduan terstruktur. Program ini mencakup psikoedukasi, restrukturisasi kognitif, dan terapi naratif, dengan total 20 sesi, masing-masing berdurasi 60 menit. Kelompok terdiri dari 6 hingga 8 peserta, dipandu oleh dua fasilitator. Penelitian menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam stigma diri serta peningkatan pada harga diri, harapan, dan kualitas hidup peserta.

2.    Intervensi Komprehensif Berbasis Komunitas

Intervensi yang menyeluruh ini dapat menjadi efektif bagi ODS, khususnya dalam mengurangi diskriminasi, gejala klinis, serta meningkatkan fungsi sosial.

3.    Coming Out Proud (Pengungkapan)

COP pertama dapat mengurangi stres yang disebabkan oleh stigma, menjaga kerahasiaan, dan meningkatkan manfaat yang dirasakan dari pengungkapan, yang terus berlanjut hingga sesi tindak lanjut. Intervensi ini mengadopsi pedoman manual dan dilakukan dalam format berbasis kelompok.

4.    Ending Self-Stigma (ESS)

Hambatan dalam mengurangi stigma dapat muncul akibat dukungan teknis yang kurang, keterbatasan sumber daya pengetahuan yang memadai, serta kesulitan dalam mengintegrasikan komunitas anti-stigma dengan komunitas. Diperlukan penyesuaian lintas budaya untuk memahami faktor sosial yang dapat mempengaruhi karakteristik stigma serta efektivitas dan keberhasilan intervensi anti-stigma. Prinsip yang diterapkan dalam intervensi ini melibatkan kombinasi teknik kognitif-perilaku, pendidikan yang relevan, latihan untuk meningkatkan kesadaran, serta pemanfaatan kekuatan diri sendiri, sekaligus mengubah cara pandang individu terhadap stigma. Intervensi yang menggunakan pendekatan fotografi melibatkan pengambilan gambar dengan kamera, kemudian menambahkan pernyataan yang mengungkapkan pengalaman individu dalam bentuk narasi. Latihan photovoice juga mencakup elemen psikoedukasi dan pengajaran strategi “proaktif”. Secara tidak langsung, tujuan photovoice adalah untuk mendorong individu berbicara dengan orang lain agar tercipta pemahaman yang lebih baik, sekaligus menjadi sarana bagi orang lain untuk memperoleh pemahaman tersebut.

5.    Anti-Stigma Photovoice Intervention

Intervensi berbasis fotografi melibatkan pengambilan gambar menggunakan kamera, diikuti dengan penambahan pernyataan verbal yang mengkomunikasikan pengalaman peserta dalam bentuk narasi. Proses ini dilakukan dalam 10 sesi per minggu, dengan setiap sesi berlangsung selama 90 menit dalam kelompok yang dipandu oleh instruktur atau fasilitator yang terlatih. Latihan photovoice ini mencakup elemen psikoedukasi dan mengajarkan strategi “proaktif”. Tujuan dari photovoice secara tidak langsung adalah untuk mendorong peserta berbicara dengan orang lain agar mereka lebih memahami satu sama lain, sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan pemahaman orang lain.

Sumber

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/3908/intervensi-untuk-mengurangi-stigma-pada-penderita-skizofrenia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Search

+